Friday 20 May 2022

Sebuah Kalimat Rindu untuk Diriku 12 Tahun yang Lalu

Hai, it's been a long time ya.
Makin kesini, aku makin kehilangan diriku yang dulu.
Sebelum nulis ini, sempat flashback sedikit dan baca-baca tulisanku di blog ini bertahun-tahun yang lalu. Aku masih bisa liat Putri yang passionnya besar dan semangat.
Life been really hard. Saking sulitnya sampai aku kehilangan diri sendiri, gak tau kemana, sampai saat ini masih aku cari-cari.
Apa jadi dewasa memang seperti ini? Sibuk untuk sesuatu yang kita kira adalah yang terbaik. Berpacu dengan waktu mengejar sesuatu yang bahkan masih kupertanyakan, apa ini yang aku mau?
Melihat kanan kiriku, yang progressnya jauh lebih kedepan, membuatku terus berpikir apakah aku bisa menyelesaikan ini. Apakah ini tujuan akhirnya?
Kata-kata klise seperti, "masing-masing orang punya timeline sendiri", rasanya sudah nggak lagi mempan untukku. Aku lelah, tanpa berani untuk berjuang lebih. Harusnya dari awal aku bisa temukan dulu apa tujuanku.
Saat ini, memutuskan berhenti bukan hal yang bijaksana. Aku gak punya backup apapun. Bahkan aku yang jadi ujung tombak. Mau tidak mau, aku harus lanjut agar orang disekitarku bisa tetap hidup. Aku paham betul mengenai hal ini, aku hanya lelah.
Saat ini, aku butuh Putri yang berusia 13 tahun. Aku butuh dia yang ceria, berani menghadapi apapun, dan selalu yakin kalau dia akan berhasil. Aku butuh dia...

Sunday 23 April 2017

Sebuah Ucapan Selamat Tinggal

Berapa lamanya hubunganmu bertahan, tidak pernah menjamin hal itu akan berlangsung selamanya. Karena selamanya itu tak pernah ada, toh perpisahan itu nyata. Antara takdir atau kematian yang jadi penyebabnya. Aku memilih takdir untuk mengakhiri kisah ini, takdir ketika perasaan tak lagi sama dan hanya luka yang menjadi tinta, menorehkan sakit pada buku harian kita. Aku, kamu, kita bukanlah lagi kita.

Berapa lamanya hubunganmu bertahan, bisa jadi hanya soal berapa lama kamu bisa menahan luka dan sabar. Luka bisa dirawat, disembuhkan, kata orang. Tapi terlanjur jadi parut, mau apa?
Ada orang bilang sabar itu tak berbatas. Tapi kubilang orang itu dewa. Aku tak bisa.

Berapa lamanya hubunganmu bertahan, bisa jadi hanya soal kamu takut sendiri aku takut sepi. Lalu kebersamaan apa yang kau maksud dengan menyakiti? Ramai apa yang kumaksud kalau ternyata hatiku sepi pun saat bersamamu.

Berapa lamanya hubunganmu bertahan, bisa jadi hanya soal ketakutan. Ketakutan menjalani status dan hidup yang baru. Ketakutan akan suatu hal yang dicoba saja pun belum. Kalau ada orang yang merasa berani karena tidak takut hantu, aku pun merasa berani karena (sudah) tidak takut untuk memulai semua ini dari awal.

Maafkan aku, karena berapa lamanya hubunganmu bertahan, toh akhirnya akan hancur juga bila rasa cinta hanya dipupuk oleh kemarahan.

Selamat tinggal kisah terbaik. Sampai bertemu di masa depan, dengan takdir yang baru yang entah seperti apa jadinya. Selamat mengukir kisah masing-masing.

Yogyakarta, 24 April 2017

Saturday 17 December 2016

True Life

Takdir Tuhan itu unik dan ajaib ya. Ketika kita berfikir tak ada lagi jalan lain selain yang kita duga, Tuhan menunjukkan kuasanya begitu dahsyat.
Sama seperti yang terjadi padaku sekitar satu setengah tahun lalu. Ketika pengumuman SBMPTN mengatakan aku harus merantau ke Solo untuk belajar di jurusan Psikologi, tiba-tiba datang keajaiban itu dari pengumuman Ujian Tulis UGM. Alhamdulillah ketika impianku untuk menjadi dokter tetap bisa tercapai. Allah selalu memberi jalan terbaik.
And here I am, jadi satu dari 195 mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi UGM 2015.
Dulu waktu kelas 12, aku sama sekali gak terfikir untuk kuliah di jogja. Maunya merantau, pergi jauh, biar bebas dan bisa belajar tanggung jawab sama diri sendiri. Atau mungkin pengen lari dari kenyataan kali ya? Intinya dulu fix banget harus kuliah diluar jogja, mboh piye carane.
Tapi seiring berjalannya waktu, masalah memudar, Jogja mulai bersahabat lagi denganku. Pelan-pelan kucoba membangun mimpi untuk bisa kuliah di kampus yang hanya berjarak 5 menit dari rumahku ini. Berharap tanpa adanya obsesi, berharap tapi tetap pasrah ke gusti Allah. Dan ternyata yang namanya doa orangtua itu dahsyat banget pengaruhnya sama kehidupanku.
Senang rasanya ngelihat orang serumah sumringah dan tertawa bahagia saat aku bilang kalo aku diterima di UGM. Gaada yang lebih membahagiakan selain lihat bundaku nangis sambil senyum bahagia dan meluk aku. Bener-bener gak terungkap pake kata-kata.
Kebahagiaanku makin lengkap saat tau Fajar ternyata juga keterima di Geodesi UGM. Sumpah rasanya tu kayak lengkap banget bahagianya :')

Dan sekarang gak kerasa udah satu setengah tahun sejak perjuangan mati-matian nyari kampus itu berakhir. Inget ya, yang berakhir perjuangan nyari kampusnya aja. Perjuangan bertahannya itu lho yang masih terus akan berjalan sampai bertahun-tahun lagi. Makin kesini perkuliahan makin berat dan mental yang dibangun harus makin kuat. Ya dan terus tiba-tiba aku sadar kalo aku bukan anak kecil lagi.

So, this is the true life. True life never be easy but you always can handle it, right? As long as my Allah with me, I believe everything will be okay. Cuma butuh bersabar aja dan terus yakin kalau perjuangannya gak akan sia-sia. Gimanapun bebanku sebagai anak pertama cukup berat. Mengingat kondisi keluarga memang gak sestabil dulu dan aku pasti jadi tumpuan dan harapan. Being focus is hard in this situation but I have to.

Now I believe Allah always give you a better way than you think. Mungkin kamu merasa kenapa kok Allah memberi cobaan dan ujian yang begitu berat. Tapi gak ada yang tau kan dibalik itu semua ada apa. Intinya jangan pernah berburuk sangka sama Allah. Dia selalu tau apa yang terbaik untuk makhluknya dan gak akan pernah ngasih cobaan yang diluar kemampuan kita. Ketika kamu mulai merasa dikasih cobaan yang berat, itu artinya kamu harus bersyukur karena menurut Allah kamu lebih kuat dari sebelumnya.

Bismillah, perjuangan ini masih sangat panjang...

Yogyakarta, 17 Desember 2016

Saturday 3 September 2016

Kembali Jadi Manusia

Setiap dari kita tentu pernah merasakan yang namanya lelah dengan hidup. Merasa hidup kita terlalu berat dan selalu sulit tanpa mengerti bahwa jauh lebih banyak mereka yang hidupnya lebih sulit dari yang kita alami. Kadang kita perlu sedikit down to earth supaya bisa tetap memanusiakan diri kita yang seakan jadi budak waktu dan rutinitas.
Berapa banyak dari kita yang bisa menyempatkan sedikit waktunya untuk sekedar bersyukur atas apa yang telah diperoleh hari ini? Atau bahkan hanya sekedar bersyukur karena masih diizinkan menghirup udara dari pagi saat bangun hingga bangun kembali. Kita terlalu terfokus akan hal-hal yang sebetulnya tidak penting-penting amat.
Tadi pagi, saya dan teman-teman BEM KM FKG UGM 2015 melaksanakan insidental di SLB 1 Bantul. Di sana kami bercanda, bernyanyi, melukis cita-cita, dan tertawa bersama dengan adik-adik yang mungkin bagi kita memiliki kekurangan. Namun sungguh, dibalik kekurangan mereka itu tersimpan suatu hal yang tidak bisa saya lihat pada orang-orang kebanyakan. Rasa syukur itu terlihat dari pasang-pasang mata mereka saat menyambut kedatangan kami di sana. Sungguh, tawa mereka begitu lebar dan nyanyian mereka begitu ikhlas dan lepas, seolah mereka tidak memiliki beban apapun. Saya belajar begitu banyak dari pertemuan ini.
Seorang anak, namanya Dayana. Ia cacat fisik di bagian kakinya dan harus menggunakan alat bantu berjalan. Tapi ia begitu periang dan amat suka bernyanyi. Lagu Balonku, Pelangi-pelangi, ia nyanyikan dengan penuh sukacita dan bahagia. Saat ditanya mengenai cita-citanya, Dayana menjawab ingin menjadi seorang dokter. Begitu pula dengan anak-anak yang lain. Dalam hati saya sungguh mengamini apa yang menjadi cita-cita dari Dayana dan anak-anak lain. Kekurangan mereka mungkin terlihat dalam fisik, namun hati mereka bersih dan tulus. Dayana selalu memegang tangan saya dan merapatkan tubuhnya. Disitu entah mengapa saya merasa bahwa terlalu banyak hal yang saya kejar sedemikian hingga untuk bersyukur di tengah-tengah kesibukan saja saya tak sempat.
Dayana dan anak-anak lain sungguh mengajarkan banyak hal untuk saya hari ini. Bahwa tetap menjadi manusia itu amatlah penting, Manusia yang peka dan peduli dengan sekitar dan bukan hanya peduli dengan kepentingannya sendiri yang menjadikan kita budak untuk hidup kita sendiri.
Mereka juga mengajarkan bagaimana memaknai rasa syukur bukan hanya dalam kata-kata "Alhamdulillah" namun juga meresapinya dalam hati.

Dan hari ini pun saya bersyukur, karena bertemunya saya dengan Dayana dan teman-temannya membuat saya kembali jadi manusia hari ini.

Yogyakarta, 3 September 2016

Sunday 21 August 2016

Kontemplasi Diri

Sudah dua minggu ini kegiatan perkuliahan semester tiga berjalan, tapi rasa-rasanya semangat untuk menjalaninya dengan sepenuh hati masih belum kunjung menempel pada raga ini. Mungkin benar apa yang orang-orang bilang bahwa perjuangan untuk masuk ke universitas yang diinginkan belum ada apa-apanya dibandingkan dengan perjuangan saat menjalani kehidupan di dalamnya.
Saya ini adalah tipe orang yang memiliki banyak impian dan selalu bersemangat di awal. Tapi untuk menjalani impian dan mempertahankan semangat saat sedang berjalan, saya akui adalah hal yang amat sulit dilakukan. Walau sebenarnya saya sadar dengan sepenuhnya bahwa jika saya terus-terusan begini, nggak akan mungkin jadi dokter gigi yang hebat seperti yang selalu saya impikan.
Salah satu dosen saya pernah berkata bahwa menjadi dokter gigi yang biasa-biasa saja tidak cukup. Apa yang membedakan saya dengan dokter gigi yang lain itulah yang menjadi nilai plus bagi pribadi saya. Dosen saya itu berkata bahwa kami harus mencari apa yang dapat menjadikan kami sebagai dokter gigi yang berbeda.
Lalu saya berpikir, saya ini memiliki interest pada hal-hal yang banyak. Tapi tidak satupun dari banyak hal tersebut saya geluti dengan sungguh-sungguh. Dulu saat saya SMP, dunia literasi menarik minat saya dan saya terjun cukup dalam pada dunia tersebut. Namun saat SMA, saya berpaling. Saya jadi seperti kehilangan kemampuan dalam menulis dan merasa bahwa itu bukanlah passion saya. Walau hati kecil saya sendiri berkata bahwa passion saya memang pada dunia ini. Lalu akhir-akhir ini saya mencoba untuk berkontemplasi mengenai hal-hal yang terjadi semasa SMA. Apa yang sebenarnya membuat saya kehilangan interest pada dunia yang dulu begitu saya cintai? Saya coba tanya pada ibu, beliau berkata bahwa saat ini saya tidak suka baca seperti dulu dan terlalu berkutat pada dunia perkuliahan yang entah tidak ada habis-habisnya. Lalu sayapun terdiam dan diam-diam mengiyakan apa yang ibu saya katakan. Saya terlalu fokus pada hal yang utama, tapi benar-benar meninggalkan apa yang sebenarnya bisa membangun karakter saya menjadi lebih kuat. Saya terlalu terfokus pada bagaimana caranya agar saya bisa mendapat IPK yang tinggi dan bisa mencapai cita-cita saya untuk menjadi dosen. Dan saya tersadar bahwa IPK tidak selamanya menolongmu dalam mencapai cita-citamu. Seperti yang dosen saya katakan, bahwa IPK bukanlah satu-satunya tolok ukur dalam pencapaian kesuksesan.

Dunia literasi ini bukanlah dunia yang baru saya kenal. Sudah 3 tahun saya fokus di dalamnya, membangun mimpi untuk bisa menjadi seorang penulis handal, namun tiba-tiba sirna karena hal yang sebetulnya tidak bisa dijadikan alasan untuk berhenti mencapai cita-cita saya ini. Saya akan mulai menulis lagi. Bagaimanapun caranya, bagaimanapun sulitnya, bagaimanapun keadaannya. Saya akan mulai membaca novel lagi, saya akan mulai berimajinasi dan membuat cerita saya sendiri. Saya akan mengejar mimpi lama saya lagi.

Yogyakarta, 21 Agustus 2016